animasi-bergerak-tasmanian-devil-0015                                                                                                                          animasi-bergerak-tasmanian-devil-0015

Kamis, 22 Januari 2015

Tradisi Perang Ketupat di Tempilang

Perang Ketupat merupakan salah satu ritual upacara masyarakat Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat. Upacara ini dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal di daratan. Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari roh-roh jahat. Oleh karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa. Konon katanya, kegiatan ini berlangsung sejak masyarakat belum mengenal agama tetapi ada juga yang mengatakan perang ketupat dimulai sejak masa penjajahan Portugis. Ada juga yang berpendapat tradisi ini telah ada saat Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 1883.
Tradisi ini memiliki lima bagian,
yaitu penimbongan, ngancak, perang ketupat, nganyot perae, dan taber kampong.
Penimbong adalah memberikan makanan kepada makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal di darat. Dalam mitosnya, makhluk halus meliputi makhluk halus baik yang diyakini sebagai penjaga masyarakat kampung terhadap serangan makhluk jahat dari luar Desa Tempilang. Prosesi acara penimbong bertambah semarak dengan tari Campak, tari Serimbang, tari Kedidi, dan tari Seramao.
Ritual berikutnya, Ngangcak, yakni pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut, terutama buaya. Diterangi empat batang lilin, dukun laut membuka acara itu dengan membaca mantra-mantra pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning, Tempilang. Nama-nama makhluk halus itu diyakini tidak boleh diberitahukan kepada masyarakat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Dengan Sesajian itu dipercaya merupakan makanan kesukaan siluman buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur rebus, dan pisang rejang. Setelah proses ritual penimbong dan ngancak, proses perang ketupat pun berlangsung.
Pagi harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat. Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana. Perang Ketupat, Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik. Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut. Setelah semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat. Dukun darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung dukun laut dan kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan ke arah kepala. Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang ketupat pun dimulai. Ke-20 pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan ketupat ke arah lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya dan berebut ketupat yang jatuh. Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan.

Selanjutnya, perang babak kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang pertama, tetapi pesertanya diganti. Perang kali ini pun tidak kalah serunya karena semua peserta melempar ketupat dengan penuh emosi. Untuk acara ini, panitia menyediakan ratusan ketupat sebagai peluru. Selama dua menit, dua regu dari peserta yang dipilih secara acak berhadapan dan penonton saling melempar ketupat. Setelah itu, mereka saling memaafkan sebagai simbol mempererat silaturahim, saling memaafkan, dan meningkatkan rasa persaudaraan.
Setelah perang ketupat lanjut ke prosesi Ngayok Perae yang berarti menghanyutkan perahu. Sebagai penutup seluruh prosesi, ritual taber kampong, yakni menabur kampung dengan air tabur dan bunga pinang, dengan harapan seluruh rumah masyarakat Desa Tempilang terhindar dari bencana dalam setahun ke depan.
Sebelum acara perang ketupat di mulai, Tradisi itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang ketupat dimulai. Pada malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan Tempilang, yaitu dukun darat, dukun laut, dan dukun yang paling senior, memulai upacara Penimbongan. Secara bergantian, ketiga dukun itu memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk halus yang bermukim di Gunung Mares, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin.
Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari serangan roh-roh jahat. Karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.
Keistimewaan upacara ini tampak pada kemasan acara yang penuh dengan tarian tradisional (tari Campak, tari Serimpang, tari Kedidi, tari Seramo, dan tari Kamei) dan upacara tambahan seperti upacara Penimbongan, Ngancak, dan Nganyot Perae. Dalam upacara ini pengunjung seakan diajak masuk ke alam mistis ketika secara tiba-tiba empat dukun secara bergantian tidak sadar (trance).
Begitulah cerita Tradisi Perang Ketupat yang hanya terjadi 1 tahun sekali di saat untuk menyambut awal bulan Suci Puasa Sekian dan Terima kasih

Selamat Datang Para Blogger, Silahkan Tulis Komentar Anda Yang Bisa Membangun Blog Ini Agar Tetap Hidup. Terima Kasih Atas Kunjungannya Ke Blog Sederhana Ini. Selamat Membaca Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar